MENGKRITISI BANK-BANK UMUM DI INDONESIA


PENDAHULUAN


Setiap kali ada bank yang ditutup, masyarakat senantiasa panic dan gelisah akan nasib uangnya. Kejadian itu selalu saja terjadi baik ketika dizaman program penjaminan dan ketika tidak ada program penjaminan dicabut diganti dengan lembaga penjaminan simpanan (LPS) tentu kondisinya lebih berat , karma simpanan masyarakat yang dijamin hanya sebesar 100juta pada tahun 2007.
Selama ini risiko bank yang sama rata sama rasa. Tidak peduli itu bank sehat atau bank tidak sehat, juga, apakah bank itu kecil atau bank itu besar. Semua risilo bank sama karena memang dalam lindungan program penjaminan. Artinya, jika ada sebuah bank yang bangkrut maka uang nasabah akan diganti seratus persen program penjaminan ini dimaksudkan untuk memilihkan kepercayaanmasyarakat terhadap perbankan.
Untuk itu masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih bank. Selain harus melihat bank pilihannya itu sehat tapi juga pastikan bank pilihannya itu dijamin oleh lembaga penjamin simpanan (LPS). Jadi tetaplah hati-hati dalam memilih bank, karena memilih bankdijaman sekarang itu tergantung pilihan anda sendiri karena resikonya berada ditangan anda sendiri.
Setelah kebijakan perbankan April 1999 Indonesia memiliki sekitar 170 bank komersial. Dibandingkan dengan keadaan sebelum krisis hal ini berati bahwa sampai kebijaksanaan terakhir tersebut telah lebih dari 60 bank dicabut ijin usahanya atau ditutup menurut istilah yang, meskipun kurang tepat secara hukum, lebih menggambarkan kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Dari penutupan bank-bank ini yang nampaknya kontroversial dan banyak dibahas dimasyarakat, baik di dalam maupun luar negeri adalah mengenai penutupan 16 bank pada permulaan Nopember 1997. Krisis yang perkepanjangan, sangat dalam serta luas dampaknya sering sekali dikaitkan dengan penutupan bank yang minimal dianggap kurang tepat dilaksanakan ini.
Penutupan bank sejak dilaksanakannya kebijaksanaan liberalisasi perijinan pembukaan bank melalui Pakto 1988 merupakan suatu yang mendekati tabu. Sejak waktu itu penutupan bank baru terjadi pada kasus Bank Summa tahun 1992. Kemudian setelah  Indonesia mengalami krisis dilaksanakan kebijakan menutup 16 pada permulaan Nopember 1997 yang menjadi kontroversial. Akan tetapi, anehnya setelah itu dilakukan beberapa kali pencabutan ijin usaha, termasuk pembekuan oprasi bank-bank yang meliputi lebih dari 50 buah yang tidak menimbulkan kejutan ataupun kontroversi lagi. Seolah-olah masyarakat telah menerima atau terbiasa dengan kebijakan pencabutan ijin usaha bank.
Memang dari pelaksanaan program stabilisasi dan pemulihan ekonomi nasional dengan dukungan IMF dengan 'stand-by arrangement' sejak Nopember 1997, yang nampaknya paling kontroversial adalah mengenai penutupan 16 bank yang tidak solvent sebagai bagian dari restrukturisasi perbankan1. Berkaitan dengan peran IMF dalam penanggulangan masalah krisis Asia, mungkin kritik terhadap kebijakan ini lebih mengemuka dibanding dengan kritik klasik mengenai pengetatan likuiditas dengan suku bunga sangat tinggi dalam kebijakan stabilisasi dalam suatu prekonomian yang memperoleh bantuan IMF. Pengetatan likuiditas ini selalu mewarnai kebijakan yang berkaitan dengan obat pahit IMF dalam membantu perekonomian yang menghadapi masalah moneter karena ketidak seimbangan fiskal atau neraca pembayaran.
Tulisan ini secara singkat membahas latar belakang permasalahan penutupan bank Nopember 1997serta proses pengambilan kebijaksanaan dan implikasi serta kebijakan yang mengikutinya. Tulisan singkat ini diharapkan dapat menambah kejelasan masalah dan dalam beberapa hal meluuruskan pengertian mengenai berbagai hal yang beredar di masyarakat yang kurang sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Ini mudah-mudahaan dapat melengkapi pencatatan sejarah mengenai apa yang terjadi waktu itu, suatu periode pelaksanaan kebijakan ekonomi yang kadang-kadang membingungkan dan mungkin kontroversial. Yang jelas krisis itu sendiri telah menimbulkan dampak yang sangat besar di masyarakat. Karena itu upaya untuk memperjelas permasalahan menjadi penting agar kita dapat belajar dari apa yang terjjadi; tidak mengulangi kebijakan yang ternyata tidak tepat dan lebih menyempurnakan kebijakan yang telah menunjukkan hasil baiknya.
Kritik yang banyak dilancarkan terhadap tindakan mencabut ijin usaha atau menutup 16 bank menyangkut hal - hal sebagai berikut:
  1. Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini gagal karena Indonesia belum memiliki program asuransi deposito sehingga terjadi penarikan dana perbankan besar-besaran secara bersamaan setelah itu
  2. Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan bahwa bank yang lemah masih lebih banyak lagi dari itu, jadi masalahnya adalah bahwa bank yang ditutup seharusnya lebih banyak lagi.
  3. Mereka yang melancarkan kritik dengan alasan yang bersifat individual, memprotes tindakan penutupan bank mereka dengan alasan adanya bank-bank lebih buruk kondisi kesehatannya yang justru tidak dicabut ijin usahanya.
  4. Mereka yang mengatakan bahwa penutupan ini dilatar belakangi oleh motivasi yang bersifat politis untuk menjatuhkan bank-bank milik pengusaha tertentu atau sebagai upaya untuk mencermarkan keluarga Presiden Suharto.
PEMBAHASAN

Bank yang sehat adalah bank yang dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan baik, yang dapat menjaga dan memelihara kepercayaan masyarakat, dapat menjalankan fungsi intermediasi , dapat membantu kelancaran lalulintas pembayaran serta dapat dipergunakan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan , terutama kebijakan moneter. Dengan menjalankan fungsi tersebut bank dapat memberikan layanan yang baik kepada masyarakat dan bermanfaat bagi perekonomian Indonesia.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik , bank harus mempunyai modal yang cukup, menjaga kualitas asetnya dengan baik dan dioprasikan berdasarkan prinsip kehati-hatian, menghasilkan keuntungan yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, sehingga dapat memenuhi kewajibannya.
Pasal 29 UU no. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU no.10 tahun 1998 tentang perbankkan, bank wajib memelihara tingkat kesehatannya sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen ,likuiditas, rehabilitas , serta aspek lain yang berkaitan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
Mengingat peranan industri perbankkan yang sangat strategis dalam perekonomian, yang berkepentingan terhadap tingkat kesehatan bank tidak hanya pemilik dan pengelola bank yang bersangkutan,tetapi juga masyarakat secara keseluruhan terutama para pengguna jasa perbankkan.
Predikat tingkat kesehatan bank:
1.       81 - 100             predikat sehat
2.       66 -  <81           predikat cukup sehat
3.       51 -  <66           predikat kurang sehat
4.       0   -  <51            predikat tidak sehat

KRITERIA KESEHATAN BANK
Pada akhir tahun 2001 Bank harus memenuhi persyaratan Kesehatan Bank dari Bank Indonesia :
  • CAR minimal 8 %
  • NPL maksimal 5 %
TAHAPAN BANK UMUM
  1. Analisa CAMEL berdasarkan peraturan Bank Indonesia untuk mengklasifikasikan Bank sehat dan Bank tidak sehat
  2. Klasifikasi Bank
    Proses penyaringan Bank sehat menjadi Bank kuat dan Bank lemah
    Parameternya adalah sebagai berikut :
    1. Kualitas SDM
      • Manajemen profesional
      • Uji kepatutan (Fit and Proper Test) pemegang saham
    2. Kemampuan finansial
      • Tingkat permodalan
      • Skala ekonomi
      • Efisiensi dari akumulasi dana / pendanaan
      • Kemampuan menyalurkan kredit kepada sektor riil
    3. Tingkat keunggulan kompetitif secara regional
    4. “Good Governance”Manajemen kredit yang “prudent”
    5. Evaluasi terhadap Nilai Waralaba (“Franchise Value” untuk Bank yang tidak sehat. Melakukan evaluasi terhadap Nilai Waralaba (“Franchise Value” dari Bank yang tidak sehat untuk menentukan apakah Bank tersebut diikutsertakan dalam proses konsolidasi atau harus ditutup.
  3. Pemetaan Perbankan Nasional
    Proses pemetaan Bank yang kuat dan Bank yang lemah untuk menentukan posisi relatif dari setiap Bank di dalam Perbankan Nasional
    Proses pemetaannya berdasarkan :
o    Segmen pasar
o    Jenis produk
o    Jumlah cabang
o    Budaya perusahaan
                        Proses Pengelompokan
Proses untuk menentukan Kelompok Bank dengan cara:
1.Penggabungan Bank-Bank (“Merger Banks”)
§  Tidak diperlukan injeksi modal
§  Diperlukan injeksi modal
2 .Bank berdiri sendiri (“Stand Alone Banks”
§  Tidak diperlukan injeksi modal
§  Diperlukan injeksi modal
Memang sebenarnya sangat ironis bahwa penutupan bank tidak solvent, yang dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dan perbankan yang merosot sejak terjadinya krisis ini akhirnya justru menimbulkan dampak sebaliknya, yaitu menghilangkan kepercayaan tersebut. Bahwa kepercayaan masyarakat terhadap perbankan justru hilang setelah tindakan penutupan bank-bank pada permulaan Nopember 1997 memang sudah menjadi kenyataan yang tidak bisa dibantah. Akan tetapi, apakah tepat untuk mengatakan bahwa penutupan bank ini gagal mencapai sasaran yang diinginkan karena Indonesia pada waktu itu belum memiliki suatu skim asuransi deposito? Argumen ini banyak dikemukakan di masyarakat, baik dalam tulisan maupun pembahasan, termasuk oleh pakar sekaliber Professor Sachs dari Universitas Harvard dalam tulisannya mengenai krisis di Indonesia. Saya tidak sependapat dengan argumen tersebut. Mengapa demikian? Karena sepanjang yang bisa saya amati program asuransi deposito pada umumnya hanya memberikan pertanggungan atau garansi secara terbatas, seperti kepada pemilik deposito sampai jumlah tertentu saja. Di Amerika Serikat misalnya, Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) hanya memberi pertanggungan pada deposan maksimal sebesar USD 200 ribu. Artinya kalau terjadi penutupan bank, maka deposan akan menerima kembali uang mereka dari lembaga ini hanya sampai maksimal sebesar 200 ribu dollar. Untuk deposan yang menitipkan deposito lebih besar dari jumlah ini, pengembaliannya disesuaikan dengan penyelesaian hak dan kewajiban bank yang ditutup tersebut.
Bagaimana dengan langkah yang ditempuh Indonesia berkaitan dengan penutupan bank bulan Nopember 1997? Dalam hubungan ini Pemerintah dalam Sidang Kabinet pada tanggal 3 September 1997 memutuskan bahwa terhadap bank-bank tidak sehat yang tidak dapat diselamatkan lagi melalui proses merger atau yang lain, akan dilakukan pencabutan ijin usaha mereka dengan sejauh mungkin memperhatikan kepentingan deposan, terutama deposan kecil. Dengan memperhatikan apa yang pernah dilakukan pada waktu penutupan Bank Summa tahun 1992, maka Pemerintah memutuskan untuk menjamin pengembalian dana deposan dan penabung sampai dengan jumlah 20 juta rupiah. Pembiayaan untuk pengembalian dana deposan kecil ini diambil dari dana talangan Bank Indonesia2.
Dalam pelaksanaannya BI mempersiapkan team yang menanganinya secara sangat bagus, sehingga pembayaran kepada pemilik dana yang dijamin seluruhnya ini berjalan sangat baik, tanpa ada peristiwa yang bisa digambarkan sebagai kekacauan. Ini berbeda dengan suasana pada waktu dilakukan penutupan bank-bank pada waktu depresi tahun tiga puluhan menurut gambaran yang diberikan para ahli mengenai peristiwa tragis waktu itu. Mungkin tidak banyak diketahui bahwa operasi ini menyangkut lebih dari 400 kantor bank-bank yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia. Operasi ini harus melayani pengembalian dana kepada pemilik dana yang seluruhnya berjumlah lebih dari 800 ribu rekening. Ini merupakan suatu operasi nasional yang sangat rapi dilaksanakan BI dengan bantuan masyarakat perbankan dan aparat keamanan.
Dari pelaksanaan langkah-langkah tersebut bisa dikatakan bahwa dalam penutupan bank permulaan Nopember 1997 tersebut pemilik deposan kecil memperoleh kembali dana mereka. Bukankah deposan kecil ini yang dijamin oleh kebanyakan asuransi deposito? Bukankah ini yang dilaksanakan oleh BI pada periode satu minggu dimulai tanggal 13 Nopember 1997? Bukankah ini berarti bahwa janji Pemerintah kepada deposan, seperti diumumkan pada 3 September 1997, melalui kerja keras pegawai BI dengan bantuan Perbanas dan banyak pihak itu dilaksanakan dengan baik sehingga tidak ada protes dari deposan kecil ini secara berarti?
Jadi seandainya telah ada asuransi deposito waktu itu yang dijamin juga mereka ini. Apakah seandainya skim jaminan deposito telah ada waktu itu akan menghalangi bank run yang terjadi? Saya tidak yakin. Kenyataannya adalah bahwa pembagian dana milik deposan kecil ini berjalan sangat tertib, tidak ada panik dari mereka ini yang dapat diketakan sebagai penyebab timbulnya bank run menurut gambaran krisis perbankan dari tiadanya skim asuransi deposito. Dari pengalaman tersebut saya sulit menerima argumen yang mengatakan bahwa kegagalan penutupan bank waktu itu adalah karena belum adanya program asuransi deposito. Kenyataan bahwa Indonesia belum memiliki skim suransi deposito perbankan waktu itu dan adanya bank run setelah terjadinya penutupan 16 bank, keduanya saya terima akan tetapi menurut pendapat saya keduanya tidak membuktikan adanya hubungan sebab-akibat. Argumen yang menunjukkan bank run disebabkan oleh tidak adanya asuransi deposito menurut saya terlalu berpijak pada buku teks.
Kalau begitu mengapa terjadi bank run pada banyak bank setelah dilakukan penutupan 16 bank? Dari pengamatan terhadap apa yang terjadi waktu itu saya melihat bahwa ketidak percayaan masyarakat terhadap perbankan yang akhirnya melumpuhkan perbankan bukan dari deposan kecil yang jumlahnya besar ini melainkan dari pemilik dana jumlah besar yang meskipun tidak banyak akan tetapi nilai dana mereka sangat besar. Tindakan para pemilik dana besar inilah yang sebenarnya menguras dana perbankan. Mereka ini dalam program asuransi deposito di manapun juga tidak dijamin3. Karena itu saya tidak yakin bahwa seandainya Indonesia telah menerapkan program asuransi deposito waktu itu, penutupan bank bulan Nopember 1997 tentu tidak menimbulkan kepanikan yang menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Tetapi mungkin orang akan bertanya, kalau begitu apakah saya yakin bahwa penutupan 16 bank itu jelas akan menyebabkan dampak seperti yang terjadi, hilangnya kepercayaan terhadap perbankan? Kalau ya, mengepa rencana penutupan tetap saya dukung dan kemudian jalankan? Saya memang percaya bahwa bank yang tidak solvent itu harus ditutup. Tetapi memang tidak bisa mengetahui sebelumnya bahwa tindkan ini akan menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu disadari bahwa hilangnya kepercayaan masyarakat yang diikuti dengan rasa panik dan tindakan menarik dana dari bank-bank yang dianggap lemah dan beresiko tinggi untuk diselamatkan ke bank-bank yang dianggap lebih aman (flights to safety) itu berasal dari berbagai pihak. Hilangnya kepercayaan datang dari deposan atau penabung, dan dari sesama bank sendiri, semula antar bank di dalam negeri kemudian antara bank-bank nasional dengan bank-bank relasi mereka di luar ngeri. Dunia usaha juga tidak mempercayai bank sehingga perdagangan pada waktu krisis banyak yang hanya terjadi kalau pembayarannya dilakukan secara tunai, tidak menggunakan jasa perbankan.
Hilangnya kepercayaan antara satu bank dengan yang lain telah menyebabkan jalannya pasar uang antar bank menjadi terganggu, karena ketidak percayaan antar bank setelah adanya keketatan likuiditas. Dalam pasar uang antar bank terjadi pengelompokan, dimana sebagian bank dianggap relatif aman, seperti bank-bank Pemerintah dan bank asing serta campuran serta beberapa bank swasta besar. Bank-bank kelas menengah dianggap kurang aman, apalagi bank-bank kecil, mereka dianggap tidak dapat memberi jaminan keamanan nasabah ataupun antar bank.
Keadaan di atas juga menjelaskan mengapa bank-bank Pemerintah tidak banyak menerima bantuan likuiditas BI atau BLBI selama krisis, kecuali Bapindo dan Bank Exim. Bank-bank Pemerintah dianggap aman oleh pemilik dana, maka dari itu mereka tidak kehilangan dana nasabah, bahkan sebaliknya banyak dana nasabah dipindahkan dari bank-bank swasta ke bank-bank Pemerintah. Karena tidak menderita erosi deposito dan tabungan, mereka tidak menghadapi masalah kekurangan likuiditas. Karena itu tidak memerlukan BLBI, berbeda dengan banyak bank-bank swasta waktu itu. Tetapi hal ini tidak disebabkan oleh kondisi bank-bank BUMN ini yang lebih sehat dari bank-bank swasta. Persepsi memang lebih menentukan dari substansi. Ini yang 'menyelamatkan' bank-bank Pemerintah dari memiliki saldo negatif dengan BI. Karena itu tidak memerlukan BLBI. ''CONGLIMBOO''
Mungkin perkembangan akan berbeda sekiranya dari permulaan diberikan suatu garansi yang menyeluruh (blanket guarantee), seperti yang diterapkan pada akhir Januari 1998. Mengapa program ini tidak dilaksanakan sebelum atau bersamaan dengan penutupan bank bulan Nopember 1997 dilakukan? Apakah ini suatu kesalahan? Setelah semua berlalu mungkin kita bisa mengatakan demikian.
Mengenai hal ini kiranya perlu diungkapkan di sini untuk keperluaan pencatatan peristiwa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Dalam pembahasan dengan team IMF untuk memperoleh bantuan 'stand-by arrangement', pada waktu mempersiapkan segala sesuatunya untuk mencabut ijin usaha bank yang insolvent, pihak IMF tidak pernah menyinggung sama sekali mengenai pemberian 'blanket guarantee' tersebut. Seingat saya pihak IMF justru secara spesifik menyebutkan perlunya memberi jaminan pada deposan kecil saja. Mengenai hal ini dari semula memang telah dipikirkan berdasarkan pengalaman penutupan Bank Summa. Dengan demikian pihak IMF juga belum memikir mengenai 'blanket guarantee' pada waktu pertama dilakukan perundingan bulan Oktober 1997 untuk mempersiapkan 'letter of intent' pertama. Blanket guarantee baru muncul setelah dampak penutupan 16 bank ternyata sebaliknya dari yang diharapkan. Kecuali kalau IMF menyembunyikannya dari team ekonomi Indonesia. Saya yakin tidak demikian. Ini semua diunglkapkan bukan untuk mengalihkan kesalahan, tetapi untuk membuat catatan mengenai apa yang terjadi waktu itu
Saya juga ingin menunjukan di sini bahwa pada waktu pembahasan mengenai 'blanket guarantee' dilakukan sebagai kelanjutan dari program yang disepakati dalam 'letter of intent' kedua, pertengahan Januari 1998, saya dan saya kira juga rekan-rekan team ekonomi telah mengajukan keberatan, apalagi dengan penjaminan atas pinjaman perbankan. Sebagaimana kemudian kita melihat, program pemberian garansi secara menyeluruh ini akhirnya diterapkan pada akhir Januari 1998 untuk waktu dua tahun. Akan tetapi perlu pula diketahui bahwa skim ini diterapkan oleh semua negara-negara yang meminta bantuan IMF di Asia (Thailand, Indonesia dan Korea serta Philipina). Bahkan Malaysia yang tidak meminta bantuan juga menerapkannya.
Bagaimana seandainya jaminan menyeluruh ini diterapkan sebelumnya? Ini mungkin memang akan menolong. Akan tetapi kalau ini diberlakukan dimuka, bank-bank akan lebih lagi bertindak dengan kurang memperhatikan resiko. Saya kira kalau ini dilakukan maka jelas akan menimbulkan apa yang dikenal sebagai 'moral hazard', perbankan akan lebih kurang berhati-hati di dalam operasi mereka.. Tanpa ada jaminan saja perbankan dan dunai usaha kebanyakan berperilaku seolah-olah ada jaminan ini. Seperti kebanyakan masalah moneter, sifatnya dilematis. Setelah semua terjadi mungkin kita akan cenderung mengatakan sebenarnya harus demikian. Padahal kalau dari semula telah diterapkan hal ini jelas menimbulkan masalah moral hazard. Semua alternatif memang ada implikasinya, dan kita tidak dapat dengan yakin mengatakan sekiranya semula dilakukan A atau B maka hasilnya pasti lebih baik, atau sebaliknya.
Sebenarnya setelah semua ini terjadi sekarang kita bisa mengatakan bahwa yang dilakukan akhir Januari dengan memberikan jaminan menyeluruh itu adalah suatu tindakan yang didorong keadaan yang luar biasa, yaitu hilangnya kepercayaan kepada perbankan dalam suatu krisis yang dahsyat, baik dari nasabah maupun sesama bank. Kebijakan ini merupakan tindakan penyelamatan terhadap sistim perbankan yang terancam hancur sama sekali dengan penarikan dana dalam perbankan secara bersama-sama, dengan terhentinya pasar uang antar bank dan dengan dihentikannya semua fasilitas dari bank-bank di luar negeri kepada perbankan nasional, seperti pinjaman untuk pembiayaan perdagangan (trade financing) maupun apa yang dikenal sebagai money line.
Dalam keadaan normal fasilitas antar bank tersebut di atas merupakan suatu kebiasaan yang selalu dilakukan dalam dunia perbankan. Akan tetapi memang suatu yang mengejutkan bahwa pada waktu kepercayaan hilang, fasilitas ini juga langsung hilang. Tidak hanya itu, bank-bank koresponden selsain menghentikan fasilitas ini juga meminta semua yang masih terhutang dilunasi. Ini semua merupakan tambahan beban pada perbankan yang sudah sangat berat karena kurs rupiah yang terus terpuruk sedangkan pengembalian pinjaman tersendat-sendat karena sektor riil yang tertekan pula. Dalam keadaan normal, tidak masuk akal ada otorita yang bersedia menerapkan suatu blanket guarantee. Ini perlu diingat dalam membahas fasilitas BLBI kepada perbankan yang menjadi menumpuk sangat besar, terjadinya adalah karena keadaan yang tidak normal, krisis hilangnya kepercayaan terhadap perbankan.
Perlu pula dicatat di sini bahwa dalam proses ini kebanyakan pelaku ekonomi lebih mendasarkan keputusannya pada persepsi yang tidak selalu sama dengan substansi atau kenyataan sebenarnya. Dalam beberapa hal substansinya lebih buruk dari persepsi yang dipegang pelaku ekonomi atau sebaliknya. Misalnya dalam proses penyelamatan dana, pemilik dana memindahkan dananya dari bank yang dianggap kurang memberikan jaminan ke yang dianggap lebih bisa memberikan jaminan, dari instrumen yang dianggap kurang dapat memberikan keamanan kepada yang dianggap lebih aman. Apakah perkiraan atau anggapan ini benar, belum tentu. Misanya kenyataan bahwa akhirnya semua bank dijamin setelah adanya 'blanket guarantee', kan sebenarnya perkiraan bahwa bank yang satu lebih aman dari yang lain tidak benar. Demikian pula bahwa menyimpan dana pada bank-bank Pemerintah dianggap lebih aman dari swasta, basisnya bukan dari kondisi kesehatannya yang lebih baik seperti jelas nampak setelah pengumuman BI April 1999 yang menunjukkan bahwa kondisi bank-bank pemerintah.

SEMOGA BERMANFAAT  BY CONGLIMBOO